Pembunuhan Cinta dan Pujian

Doa-doa mengalir di tengah padang pasir dari mulut orang yang fajir, dialah diriku. Pada kesendirian aku berterus terang tentang hati dan jiwa. Dendang amarah dan penderitaan hidup adalah halilintar yang memaksa air mata keluar. Hutan gelisah membakar hidup. Aku menentang hidup. Aku menggenggam hidup yang telah diterkam nasib. Lingkaran setan menerjang gelisah. Lidahku adalah gelisah. Tanganku adalah gelisah. Hatiku adalah api. Jiwaku adalah duri. Aku memaki pujian. Aku menerkam keindahan. Aku ingin membunuh cinta. Aku ingin membunuh halilintar.

Ditemani badai aku akan membunuh mereka. Dengan api aku akan membakar gelisah. Dengan duri aku akan menerkam keindahan. Dengan jantan aku akan merobek pujian. Pada hari yang tak lagi cerah, saat semua kegelisahan terbunuh, saat api telah mengabarkan kegelisahanku aku akan berdiri sendiri, berbicara dengan damai lalu mengubur keindahan.

Abu-abu kerinduan adalah pemandang yang indah. Kematian cinta menjadi manis. Air mata rindu adalah pujian terakhir yang akan menelanku di tengah padang pasir ini.

Sekarang aku memangku gerhana yang telah lahir kembali. Dia tersenyum dengan bibir yang merah. Matanya mengeluarkan darah dari masa lalu yang mencoba membunuhku dengan segala kata. Lalu aku menggenggam bekal dari perjalananku. Senyum kematian kegelisahan adalah warna yang paling menyejukkan hatiku. Aku menata kembali hatiku. Hatiku aku ajak untuk kembali berjalan. Aku akan kembali bertualang untuk memecahkan karang. Aku mengikuti nyanyian camar di pantai, di ujung penantian.

Setelah jauh aku melangkah, aku akan kembali melihat kepadamu. Aku akan mengingat cinta yang sekarat, jeritan keindahan yang lirih, dan kata-kata memelas dari pembunuhan pujian. Semua terasa indah, semua terasa manis. Aku merasa dipeluk wibawa. Aku merasa harga diri melayangkan kata sayangnya padaku.

Maret 31st, 2008 by jibril

0 Comments: