meniti bianglala

Menyimpan rasa marah adalah racun. Menggerogotimu dari dalam. Kita mengira kebencian merupakan senjata untuk menyerang orang yang menyakiti kita. Tapi kebencian adalah pedang bermata dua. Dan luka yang kita buat dengan pedang itu, kita lakukan terhadap diri kita sendiri.

Kadang-kadang kalau kau mengorbankan sesuatu yang berharga, kau tidak sungguh-sungguh kehilangan itu. Kau hanya meneruskannya pada orang lain.

Tidak ada kehidupan yang sia-sia, satu-satunya waktu yang kita sia-siakan adalah waktu yang kita habiskan dengan mengira kita hanya sendirian.

Cinta yang hilang tetap cinta. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Kau tidak bisa melihat senyumnya, atau membawakannya makanan, atau mengacak-acak rambutnya, atau berdansa dengannya. Tapi ketika indera-indera itu melemah, indera-indera lain menguat. Kenangan. Kenangan menjadi pasanganmu. Kau memeliharanya. Kau mendekapnya. Kau berdansa dengannya. Kehidupan harus berakhir, tapi cinta tidak.

Cinta seperti hujan, bisa menyuburkan dari atas, menghujani pasangan dengan keceriaan. Tapi kadang-kadang, dalam panasnya kehidupan, cinta seolah kering di permukaan dan harus tergantung pada akarnya yang tertanam dalam untuk membuatnya tetap hidup.

Orang sering mengatakan mereka “menemukan” cinta, seakan-akan cinta sejenis benda yang tersembunyi di balik bongkahan-bongkahan batu. Tapi cinta mempunyai berbagai bentuk, dan tidak pernah sama bagi setiap pria atau wanita. Yang ditemukan orang sebenarnya cinta tertentu. Cinta yang didasari rasa syukur, cinta yang mendalam walaupun tidak menggebu-gebu, cinta yang ia tahu, lebih dari segalanya, tidak akan bisa digantikan oleh apa pun.

meniti bianglala